Menteri PPPA – Ketika anak-anak seusia 10 tahun seharusnya sibuk bermain, belajar membaca puisi, atau mengasah kemampuan berhitung, justru pemandangan mengerikan terjadi di berbagai daerah: siswa SD terlibat tawuran. Bahkan, beberapa dari mereka dengan bangga memamerkan aksi brutalnya di media sosial. Masyarakat sontak geger. Siapa yang harus di salahkan? Anak-anak kecil ini? Atau justru sistem yang gagal membentuk mereka?
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati, menyuarakan satu pernyataan yang membelokkan arah diskusi publik. Ia menegaskan, siswa SD yang terlibat tawuran bukan pelaku kriminal, melainkan korban dari sistem yang rusak dan abai. Ucapan ini seolah menampar wajah sistem pendidikan, pola pengasuhan, dan lemahnya kehadiran negara dalam ruang sosial mahjong ways 2.
Sistem Pendidikan yang Kaku dan Ketinggalan Zaman
Selama bertahun-tahun, sistem pendidikan di Indonesia terjebak dalam paradigma usang: kurikulum padat, orientasi nilai, dan minimnya pendidikan karakter. Anak-anak di jejali hafalan, tanpa cukup waktu untuk di ajak berpikir, merenung, atau memahami empati. Guru di tuntut menuntaskan silabus, bukan menumbuhkan budi pekerti.
Akibatnya? Siswa yang bosan, jenuh, dan tak punya outlet emosional. Tawuran pun muncul sebagai pelampiasan. Bagi anak-anak ini, adrenalin dari saling lempar batu atau menyabetkan tongkat menjadi pengganti ruang ekspresi yang seharusnya mereka dapatkan di sekolah. Mereka tumbuh di antara skor dan ranking slot bonus new member 100, bukan kasih sayang dan pemahaman sosial.
Lingkungan Sosial yang Miskin Pengawasan
Lebih menyedihkan lagi, fenomena ini tak hanya bersumber dari sekolah. Lingkungan sosial mereka juga telah kehilangan arah. Banyak orang tua yang terlalu sibuk bekerja, menyerahkan pengasuhan pada gawai dan tontonan bebas di YouTube. Anak-anak tumbuh tanpa filter, menyerap kekerasan sebagai hal yang biasa, bahkan keren.
Menteri PPPA menggarisbawahi, ketika anak melakukan kekerasan, yang perlu di pertanyakan adalah dari mana mereka belajar itu. Apakah dari rumah? Lingkungan? Atau bahkan dari konten digital yang semestinya tak layak di tonton anak-anak seusia mereka?
Negara yang Lalai Menghadirkan Perlindungan
Negara pun tak lepas dari sorotan. UU Perlindungan Anak sudah jelas. Tapi implementasinya? Masih jauh panggang dari api. Tidak semua sekolah memiliki konselor anak, tidak semua dinas pendidikan aktif menangani kasus kekerasan antarsiswa. Bahkan, banyak aparat justru bereaksi dengan cara yang salah: memperlakukan anak-anak ini sebagai pelaku kejahatan.
“Anak yang tawuran harus di pulihkan, bukan di kriminalkan,” tegas Menteri Bintang. Ia menolak keras pendekatan hukum yang menempatkan anak-anak ini dalam posisi pesakitan. Baginya, mereka adalah cermin retak dari sistem yang membentuk mereka.
Tekanan Sosial yang Mengikis Masa Anak-anak
Jangan lupa juga peran media sosial yang kejam. Di era TikTok dan Instagram, eksistensi anak di tentukan dari berapa banyak like dan views. Tawuran menjadi konten. Aksi saling pukul menjadi bahan hiburan. Anak-anak ini mengejar validasi dari dunia maya, karena di dunia nyata mereka tak merasa di hargai.
Mereka tumbuh dalam ruang yang memaksa mereka menjadi dewasa sebelum waktunya. Dan ironisnya, ketika mereka bertindak “dewasa” dengan cara yang salah, justru mereka di jadikan kambing hitam. Padahal, mereka hanyalah cermin dari sistem athena slot yang membusuk.
Saatnya Revolusi Mental Di mulai dari Anak-anak
Pernyataan Menteri PPPA bukan hanya kritik, tapi juga pukulan telak bagi semua pihak: guru, orang tua, pembuat kebijakan, bahkan masyarakat. Ini bukan hanya soal kekerasan anak. Ini tentang sistem yang membiarkan anak-anak kehilangan masa kecilnya. Tentang generasi yang tumbuh dalam kekosongan nilai, karena tak ada yang membimbing mereka ke arah yang benar.
Siswa SD yang tawuran memang memalukan. Tapi lebih memalukan lagi jika kita, sebagai orang dewasa, tetap membiarkan sistem ini berjalan seperti slot resmi.