Pasal Pencemaran Nama Baik – Di era digital yang konon menjunjung tinggi demokrasi dan kebebasan berekspresi, Indonesia justru menghadirkan paradoks menyakitkan. Pasal pencemaran nama baik dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) seakan menjadi senjata ampuh bonus new member 100 untuk membungkam kritik, tapi hanya ketika kritik itu di arahkan kepada individu atau pejabat negara tertentu. Ironisnya, ketika pemerintah atau pejabat publik justru melontarkan ujaran yang jelas-jelas mencemarkan nama baik warga, hukum mendadak bisu. Sunyi. Mati rasa.
Mengapa pasal ini tidak berlaku bagi pemerintah? Bukankah dalam negara hukum, semua pihak tanpa terkecuali harus tunduk pada aturan yang sama? Namun kenyataan di lapangan justru menampilkan potret suram penegakan hukum yang tebang pilih. Rakyat diseret, diadili bonus new member 100, dan di penjara karena unggahan di media sosial yang dianggap “menyakiti” pejabat, sementara pejabat yang menyakiti rakyat hanya cukup melengos sambil tersenyum.
Rakyat Dijerat Karena Pasal Pencemaran Nama Baik
Sudah terlalu banyak kasus di mana rakyat kecil harus berhadapan dengan pasal karet UU ITE karena mengekspresikan kekecewaan mereka terhadap pelayanan publik, kebijakan pemerintah, atau perilaku pejabat. Unggahan Facebook, cuitan Twitter, hingga komentar di Instagram bisa menjadi dasar hukum untuk penangkapan. Tak peduli konteksnya slot gacor hari ini: emosi sesaat, sindiran, atau bahkan bentuk satire. Hukum tetap menjerat, dan vonis tetap di jatuhkan.
Baca Berita Lainnya Juga Hanya Di baramandiri.com
Bandingkan dengan situasi ketika seorang pejabat publik dengan santainya melontarkan ujaran menyakitkan, melecehkan, bahkan merendahkan martabat rakyat di ruang publik. Tidak ada slot depo 10k proses hukum,panggilan polisi. Ataupun ada tekanan dari aparat. Hanya ada pembelaan, klarifikasi setengah hati, dan narasi usang tentang “salah kutip” atau “di pelintir media”.
Contoh nyata? Sudah terlalu banyak untuk di hitung. Pejabat menyebut rakyat “miskin karena malas”, “banyak ngeluh, tidak bersyukur”, atau bahkan menyamakan kritik dengan tindakan subversif. Tapi tidak pernah ada satupun yang di jerat dengan pasal yang slot depo 10k.
Ketika Pasal Karet Menjadi Tameng Kekuasaan
Pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE telah bertransformasi menjadi tameng kekuasaan. Alih-alih melindungi hak setiap warga negara dari fitnah atau ujaran kebencian, pasal ini lebih sering di gunakan untuk melindungi kekuasaan dari kritik. Ia bersifat selektif, menyesuaikan tajam atau tumpulnya berdasarkan posisi sosial dan kekuatan politik pelakunya.
Seharusnya, negara menjadi entitas netral yang menjaga keadilan, bukan alat balas dendam pejabat yang tak tahan kritik. Tapi realita justru menunjukkan bahwa negara, dalam banyak kasus, berperan sebagai pelindung elite. Di mata hukum, rakyat di anggap tidak boleh salah berbicara, tapi penguasa boleh salah berkali-kali tanpa thailand slot.
Pemerintah Tidak Bisa Dituntut? Ini Bukan Negara Demokratis
Dalam praktiknya, seolah telah terjadi pemisahan status hukum antara warga negara dan pemerintah. Ketika seseorang mencoba melaporkan pejabat publik atas dugaan pencemaran nama baik, laporan itu mandek. Dalihnya klasik: pejabat publik memiliki kekebalan hukum karena pernyataan itu bagian dari tugas dan kewenangannya.
Tapi sejak kapan menyakiti rakyat menjadi bagian dari tugas pejabat? Sejak kapan hinaan, olok-olok, dan kata-kata merendahkan di masukkan dalam SOP pemerintahan?
Pemerintah yang antikritik adalah benih dari otoritarianisme. Negara yang menjadikan hukum sebagai alat untuk membungkam suara rakyatnya sedang berjalan mundur ke zaman kegelapan slot bet 400. Ketika hukum tidak lagi bisa menyentuh kekuasaan, maka hilanglah harapan akan keadilan.
Wajah Ganda UU ITE: Pelindung atau Penindas?
UU ITE dalam implementasinya menampakkan wajah ganda. Di satu sisi, ia menjadi harapan bagi mereka yang benar-benar menjadi korban pencemaran nama baik. Tapi di sisi lain, UU ini menjelma menjadi monster yang menakutkan bagi rakyat yang ingin bersuara.
Celakanya, ketimpangan ini tidak hanya menciptakan ketidakadilan hukum, tapi juga memperkuat budaya takut. Rakyat lebih memilih diam, daripada berisiko di jerat hukum hanya karena menyuarakan kebenaran. Inilah bentuk kekuasaan paling licik: membuat orang takut untuk sekadar bicara.